Balada Hati

Minggu pagi yang cerah terlihat seorang gadis muda sedang duduk santai di teras rumahnya. Dengan rambut diikat model ekor kuda dan kaos serta celana panjang _sprot_ nampak jika gadis tersebut usai olah raga pagi. Sementara jari-jarinya terus menari-nari di layar _smart phone_ yang dipegang dan sesekali bibirnya tersenyum sendiri.

“Ka Ayu … Yuk kita main,” suara Desti mengagetkan gadis tersebut.

“Adek dulu sana main kakak capai istirahat dulu, kan kakak habis lari pagi,” sahut Ayu terlihat malas menuruti ajakan adiknya.

“Ya kakak, ga asiklah kak main sendiri, ayo kak” rengek Desti sambil menerik-narik tangan kakaknya.

“Adek … main aja dulu gih nanti kakak menyusul.” Sambil cemberut akhirtnya Desti berjalan meninggalkan kakaknya yang masih ingin bermalas-malasan di depan layar smart phonenya.

Desti berjalan ke halaman rumah yang ditumbuhi rumput hijau bak lapangan sepak bola, sementara di beberapa tempat terdapat tanaman bunga yang mulai bermekaran. Belum lagi langkah Desti sampai ke ayunan di pojok halaman tiba-tiba dari ujung jalan terlihat pemuda bertubuh atletis muncul menyapa Desti seperti sok kenal.

“Selamat pagi Desti,” sapa pemuda tersebut.

“Pagi Om … ko Om tahu nama Desti, Om siapa ?” tanya Desti penasaran.

“Om ini teman kakak Ayu, om boleh masuk ?”

“Oh … Boleh Om, silakan,” meski Desti penasaran karena belum pernah bertemu sebelumnya dengan pemuda tersebut tapi Desti terlihat seperti lama sudah mengenalnya.

Pemuda itu berjalan menuju teras rumah bermaksud menghampiri Ayu, sementara Ayu yang masih asyik dengan gawainya tak menyadari ada yang datang.

“Pagi Ayu …”

“Pagi …” Ayu salah tingkah melihat tiba-tiba ada seorang pemuda ada di dekatnya menyapa sok kenal sok akrab.

“Siapa anda ada maksud apa datang kemari ?” Ayu masih belum bisa menerima atas kedatangan pemuda yang tiba tiba. Mata Ayu tajam menelisijk tiap jengkal dari seseorang yang di hadapannya. Dalam hati Ayu kagum juga dengan ketampanan some one yang ada di hadapannya, berkulit bersih dengan dibalut kaos oblong putih serta celana panjang dan sepatu sport. Terlihat juga jika pemuda tersebut sedang berolahraga pagi.

“Kenalkan… saya Arfin. Kebetulan saya lagi kuliah di kota ini dan tinggal atau kost di ujung jalan simpang empat.” Dengan santun Arfin nama pemuda itu memperkenalkan diri.

“Maaf saya ga kenal sama anda. Jadi tinggalkan rumah saya !” usir Ayu.

“Baik … tapi ijinkan minggu depan saya mampir lagi kemari,” ucap Arfin sambil tersenyum.

Arfin berpamitan dan langsung meninggalkan Ayu, mata Ayu masih tajam memperhatikan Arfin dari belakang. Tak habis pikir mengapa ada tiba-tiba seseorang mengajak kenalan. Meski geli dalam hati tapi Ayu masih berusaha menyembunyikannya.

“Kak Ayu… siapa emang om tadi?” teriakan Desti lagi-lagi mengejutkan Ayu.

“Sudah-sudah ayo masuk, kakak mau mandi…” sergah Ayu.

***

Satu minggu telah berlalu, setelah jogging Ayu terliht istirahat di teras rumah, jari tangan lincah menari di layar smart phone yang berwarna merah jambu. Entah apa dan dengan siapa Ayu berinteraksi di balik senyu manis yang menghias bibirnya.

“Pagi Ayu… seperti janji saya hari Minggu saya mampir ke sini lagi,” sapa Arfin.

“Tidak jera juga aku usir kemarin ?” ucap Ayu.

“Tidak ada maksud lain, saya hanya ingin berkenalan.” Arfin tersenyum, “Boleh saya duduk ?”

“Oh… silakan.” Ayu memperslakan Arfin untuk duduk.

“Sebenarnya sudah lama saya ingin sekali berkenalan dengan Ayu, tapi baru minggu kemarin saya memberanikan diri. Dan saya tahu nama Ayu dari teman-teman yang biasa nongkrong di warung kopi Yu Jum.” Agak panjang Arfin mulai bercerita. Sementara Ayu hanya mengangguk-angguk.

“Ada yang lain yang mau disampaikan lagi ?” tanya Ayu.

“Tidak terima kasih…” tampaknya Arfin paham dengan pertanyaaan Ayu.

“Kalau begitu saya permisi dulu, selamat pagi” Arfin pamit dari hadapan Ayu.

Sepeninggal Arfin Ayu masih saja termenung, ko ada manusia seperti itu. Tidak saling kenal tapi gayanya itu lo… Padahal janji Arfin yang diucapkan Minggu yang lalu dianggap hanya angin lalu oleh Ayu. Mana mungkin juga Ayu menganggap orang yang baru dikenalnya itu,. Tapi ternyata janji Arfin bukan _omong doang_. Janji tertebus dengan datangnya Arfin Minggu ini.

***

Begitulah di tiap-tiap hari Minggu Arfin selalu singgah menemui Ayu. Ada saja bahan obrolan, Ayu yang pada awalnya kurang begitu suka lambat laun mulai menerima kedatangan dan kehadiran Arfin. Benar saja pepatah jawa yang mengatakan Witing Teresno jalaran saka kulina.

Keakraban terus terjalin dengan seiring berjalannya waktu. Sampai pada akhirnya suasanya beruban 180 derajat. Jika di setiap hari Minggu adalah hari dimana Arfin selalu menghibur hati Ayu namun pada akhirnya keadaan sudah berbalik.

Harapan-harapan kosong kini menggelayuti hati Ayu, di Minggu berikutnya Arfin sudah tidak lagi batang hidungnya. Penanntian dalam kesendirian Ayu rasakan. Ada apa gerangan dengan Arfin ? bagaimana keadaannya? Berbagai pertanyaan dalam hati tiada kuasa dijawab. Minggu berganti minggu tak terasa sudah 24 minggu Arfin lenyap bagai ditelan bumi. Penantian Ayu sia-sia tak ada kabar berita yang dia dengar tentang keberadaan Arfin.

Sampai pada akhirnya Ayu harus melupakan apa yang sudah terbangun tentang kehadiran Arfin. Tak ada hari Minggu yang tersisa, tak ada penantian lagi, tak ada canda dari Arfin.

“Cang cimen cang cimen !!” teriak pedagang asongan menjajakan dagangannya. Ayu yang pagi itu kebetulan melewati taman kota singgah untuk sekedar istirahat di bangku panjang di pojok taman yang berseberangan dengan Taman Hiburan. Matanya tak henti-hentinya menoleh kesana kenari seperti ada yang sedang dicarinya. Entah siapa yang sedang ditunggu hingga pandangannya tidak bisa tenang.

Namun tiba-tiba matanya tertuju pada seorang pemulung yang sedang mengais sampah di tong sampah yang terpasang di beberapa sudut taman.

“Arfin …” gumamnya lirih seakan tidak percaya akan pandangannya.

“Arfin!” teriak Ayu setelah yakin siapa yang dilihatnya. Ayu menghampiri Arfin yang kaget dengan teriakan Ayu. Tanpa sadar Ayu berlari menghampiri Arfin, sementara itu Arfin seakan menghindar dari kedatangan Ayu.

Mata Ayu berkaca-kaca seakan tak percaya siapa yang ada di hadapannya. Ditariknya Arfin menuju bangku panjang tempat duduk semula.

“Arfin … kenapa jadi begini ?”

“Maafkan aku Ayu… “ gumam Arfin sambil teertunduk hingga suaranya nyaris tidak terdengar.

“Ceritakan Arfin apa yang terjadi ? mana Arfin yang dulu yang selalu ceria ?” desak Ayu.

Akhirnya luluh juga Arfin dengan desakan Ayu. Diceritakan kejadian yang sebenarnya tentang kisah duka yang menimpa dirinya dan keluarga. Semenjak menghilangnya Arfin setelah pertemnuannya dengan Ayu, Arfin harus pulang ke kampung halaman karena mendengar berita duka ayahanda yang tercinta telah berpulang ke hadirat Tuhan yang maha Esa. Sedangkan untuk membiayai kuliah, Arfin mengharuskan dirinya bekerja serabutan. Untuk itulah mengapa Arfin seperti tak mampu untuk bertemu lagi dengan Ayu. Menganggap dirinya sudah tidak berarti tak sebanding dengan status sosial yang disandangnnya .

Ayupun tersenyum mendengar kisah Arfin, segala sesuatu memang perlu perjuangan. Disamping mengucapkan berita duka kepada Arfin, Ayupun tak lupa untuk memberi semangat atas keterpurukan mental Arfin yang sedikit goyah oleh prahara hati yang menimpanya.

Sampit, 19 Januari 2020

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *