Kopi Pahit Ayah

“Nak,…buatkan ayah kopi”, terdengar ayah memanggil minta dibuatkan kopi. Walaupun ayah tidak merokok tapi untuk urusan kopi ayah sangat menikmati kopi pahit yang selalu terhidang siap menemani aktifitas ayah sehari-hari.

“Iya ayah, sebentar.”

Sebenarnya aku agak heran juga, kenapa akhir-akhir ini ayah lebih suka aku yang membuatkan kopi pahitnya bukannya ibu. Meskipun ibu juga selalu menyediaan di tiap waktu.

“Ayah kenapa sih selalu minta dibuatkan kopi oleh Santi, memangnya kenapa dengan kopi buatan Ibu?” pertanyaan itu yang aku dengar awal-awalnya ayah minta aku yang membuatkan kopi .

“Tidak apa-apa Bu, kopi Ibu tetap nikmat untuk ayah, hanya saja ayah ingin si Santi yang mebuatkan kopi Ayah, itu saja.” Jawaban ayah masih terngiang di telingaku satu minggu yang lalu waktu pertama ayah minta dibuatkan kopi.

“Ini yah kopinya.” Kusodorkan segelas kopi hitam di meja ayah yang sedang duduk membaca buku di kursi teras rumah.

“Terima kasih nak,” sahut ayah sambil terus membaca buku yang lumayan tebal.

Aku duduk di samping ayah, ada rasa rindu teringat masa kecil dengan ayah yang selalu memanjakan. Ayah yang sedang membaca melirik ke arahku dan tersenyum. Terlihat keriput-keriput di wajah yang sudah tidak muda lagi. Keriput yang menjadi saksi akan tanggung jawab sebagai orang tua, sebagai ayah, sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab untuk tetap mengemudikan bahtera yang di nahkodainya.

Dielusnya rambutku, elusan tangan kasar nan kekar bagai badai yang membelah ombak di samudera luas. Kubalas senyum ayah, kupeluk manja tubuh ayah.

“Eh… ada apa dengan anak ayah satu ini ?’

“Nggak ada apa apa yah,”

“Pasti ada maunya nih, kalau ngga ada apa-apa ngga gelayutan gini.”

“Kenapi sih ayah minta Santi yang buatkan kopi, kan Santi tidak tahu racikan kopi kesukaan ayah, kemanisan atau kepahitan.”

“Santi,… itu semua tidak penting bagi ayah, mau kemanisan, kepahitan yang terpenting adalah ketulusan hati Santi dalam membuatkan kopi untuk ayah. Itulah kebahagiaan ayah.”

Ku diam sambil pasang kuping untuk mendengarkan kata-kata ayah yang terlihat akan diteruskan.

“Santi sekarang sudah dewasa, cepat atau lambat Santi akan meninggalkan Ayah. Cepat atau lambat Santi akan mempunyai bahtera sendiri dan mempunyai nahkoda sendiri juga, yang pada akhirnya juga akan berlayar sesui dengan tujuannya.”

“Santi belum paham ayah, santi ngga akan meninggalkan ayah.” Belum paham aku apa yang di katakan ayah barusan.

“Begini nak,…” kudengar suara ayah mulai parau seakan menahan sesak dalam dada.

“Santi kan sudah bukan anak-anak lagi, sudah besar dan sudah dewasa, cepat atau lambat nantinya akan berumah tangga dan ikut suami yang akan menjadi imam dalam rumah tangga. Sampai di situlah tanggung jawab ayah terhadap Santi, ayah tidak bisa minta dibuatkan kopi lagi, ayah tidak bisa menyuruh Santi lagi, ketaatan Santi terhadap suami kelak adalah mutlak yang harus Santi taati.”

Perkataan ayah barusan membuatku meledak dalam tangis, Mungkin kopi pahit ayah inilah sisa kebahagiaan bersama anak gadis yang sudah beranjak dewasa.

Sampit, 10 April 2021

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *