Bayang Kasih tak Terganti

“Ayah selalu bilang, langit itu kanvas paling jujur, Nak,” bisikku lirih pada diri sendiri, mengamati gradasi jingga yang perlahan luntur, melebur dalam rembang senja. Setiap sore, kenangan itu muncul lagi, seolah embusan angin membawa serta aroma tanah basah dan keringat Ayah setelah seharian berjibaku di kebun. Rumah kami sederhana, berdinding kayu yang termakan usia, namun Ayah, dengan caranya sendiri, telah menyulapnya menjadi istana kecil bagi kami berdua.

Ayah bukanlah pria dengan tumpukan kata. Ia tak pernah melontarkan janji-janji manis atau membanjiriku dengan pelukan setiap saat. Namun, tangannya—ah, tangan itu! Tangan yang diukir oleh kerasnya cangkul dan pupuk, selalu terasa begitu hangat, begitu kokoh, saat menggenggam jemari kecilku.

Aku ingat betul, sore itu, ketika kali pertama aku terjatuh dari sepeda, lututku berdarah dan isak tangisku pecah tak terbendung. Ayah hanya berlutut di sampingku, mengusap kepalaku lembut, membersihkan luka itu tanpa sepatah kata pun. Kemudian, dengan hati-hati, ia mengangkat tubuh kecilku, mendudukkanku di boncengan sepeda tuanya, dan mengayuh perlahan, mengelilingi desa. Aku tahu, itulah bahasa cintanya: “Jangan takut, Nak. Ayah di sini, melindungimu.”

Ada satu kejadian yang tak pernah lekang dari ingatanku. Musim kemarau begitu panjang, mencekik. Sumur-sumur mengering, dan kebun-kebun yang menjadi urat nadi kehidupan kami, layu tak berdaya. Banyak penduduk desa yang terpaksa merantau, mencoba mencari rezeki di tanah orang.

Sore itu, perutku berkeroncongan, perih tak tertahankan, namun Ayah hanya duduk diam di ambang pintu, menatap sendu ke luar jendela. Pagi harinya, aku terbangun oleh suara gemerisik di dapur. Ayah tak ada di ranjangnya. Di meja makan yang sudah usang, terhidang sebungkus kecil singkong rebus hangat. Aroma manisnya menguar, membuatku menelan ludah.

Belakangan aku baru tahu, Ayah menghabiskan semalaman menggali di lereng bukit, hanya demi menemukan sisa-sisa singkong liar untuk mengisi perutku. Wajahnya pucat pasi, namun bibirnya mengulas senyum tipis, melihatku makan dengan lahap. Saat itu, dalam benakku yang polos, aku mengerti bahwa cinta sejati tak selalu membutuhkan untaian kata; ia seringkali termanifestasi dalam pengorbanan yang sunyi.

Waktu berkelebat, membawa Ayah menapaki usia senja. Rambutnya memutih seperti kapas, dan langkahnya kian melambat, diseret oleh usia. Aku beranjak dewasa, mulai bekerja di kota kecil di seberang bukit. Setiap kali gajian, hal pertama yang kulakukan adalah mengirimkan sebagian uang untuk Ayah. Namun, ia selalu menolak mengambil banyak. “Simpan untuk masa depanmu, Nak,” katanya dengan suara serak, “Melihatmu mandiri dan bahagia sudah lebih dari cukup bagiku.”

Kemudian, hari itu tiba. Hari di mana langit seolah enggan menampakkan kejujurannya. Mendung kelabu menggantung pekat, memayungi desaku dengan tirai kesedihan. Ayah pergi, dalam tidur tenangnya, tanpa keluhan, tanpa sepatah kata perpisahan. Kesunyian menggerogoti setiap sudut rumah kami yang dulu selalu hangat oleh kehadirannya. Aku merasa hampa, seolah separuh jiwaku ikut terkubur bersamanya di bawah tanah basah itu.

Malam-malam setelah kepergian Ayah terasa begitu panjang dan dingin. Aku sering duduk sendirian di beranda, tempat kami biasa menikmati senja bersama. Aku mencari-cari, berharap bayangannya melintas, berharap suaranya terngiang dalam angin malam. Rasa sesal datang menghimpit: mengapa aku tidak lebih sering pulang? Mengapa aku tidak mengucapkan “terima kasih” lebih banyak lagi?

Hidup harus terus berjalan, namun rasanya setiap langkahku terasa begitu berat, ditarik oleh beban rindu yang mendalam. Sampai suatu pagi, ketika aku sedang merawat kebun kecil peninggalan Ayah, aku menemukan sebuah surat terselip di bawah pot anggrek kesayangannya. Tulisan tangannya yang khas, sedikit bergetar, memenuhi kertas usang itu.

“Anakku, jangan pernah takut melangkah. Ayah memang tak lagi di sisimu, tapi bayanganku akan selalu menuntunmu. Ingatlah kebun ini, Nak. Sekering apa pun tanahnya, kalau kau rawat dengan sabar dan kasih sayang, ia akan selalu memberi. Begitulah hidup. Dan begitulah cinta Ayah padamu. Takkan pernah terganti.”

Air mataku tumpah, membasahi surat itu. Kalimat-kalimat itu, meski tak terucap langsung dari bibirnya, terasa seperti pelukan terakhir dari Ayah. Ia tak pernah benar-benar pergi. Setiap nilai yang diajarkannya, setiap pengorbanannya, setiap tatapan matanya yang penuh cinta, semuanya telah membentuk bayangan yang tak kasat mata, namun selalu menuntunku.

Kini, setiap kali aku menghadapi kesulitan, atau merasa lelah dengan hiruk-pikuk dunia yang tak henti, aku akan memejamkan mata. Dan di sana, dalam keheningan jiwaku, aku melihatnya. Bayang kasih Ayah yang tak terganti. Ia tak lagi berbicara, tapi kehadirannya begitu nyata, menjadi kompas abadi yang menunjukkan arah pulang menuju kekuatan dan kedamaian.

Ayah memang telah berpuluh tahun berpulang, namun warisan cintanya akan terus hidup, tak lekang oleh waktu, tak tergantikan oleh apa pun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *