Kisah Asmara Media Sosial

Waktu sudah menunjukan pukul 01.00, namun mataku belum bisa terpejam. Kejadian sore tadi masih mengganjal hati dan perasaan. Kata-kata ayah dan ibu masih jelas terngiang di telinga. Walaupun tidak memaksa namun aku tidak punya pilihanlain selain mengiyakan apa yang menjadi keputusan orang tua.

“Tidk ada keputusan orang tua yang akan mengyengsarakan anak-anaknya,” batinku menghibur diri.

Tanpa sepengetahuanku ternyata diam-diam ayah dan ibu menjodohkanku dengan pemuda pilihan kedua orang tua. Irwan namanya. Pemuda sekampung yang aku sudah mengenalnya sejak kecil. Kuakui, memang Irwan termasuk pemuda yang gagah dan menawan penampilan secara fisiknya, ditambah lagi dengan pribadi yang baik. Tapi selama ini, aku hanya menganggapnya sebagai teman biasa aku tidak punya prasaan apa-apa terhadap dia.

“Ayah dan Ibu bermaksud menjodokan kamu denga Irwan putra pak Samiaji. Itupun jika Tiara tidak keberata,” kata ayah masih jelas terngiang di telinga.

Tidak memaksa memang, karena semua keputusan ada di tanganku, namun demikian sebagai seorang anak aku juga tidak serta merta menolak. Aku yakin bahwa apa yang menjadi keputusan orang tua adalah hal yang terbaik untukku dan masa depanku.

Terlebih lagi, orang tua Irwan yang juga sahabat ayah adalah keluaga yang baik. Jika pepatah jawa mengatakan jika mencari jodoh yang bibit, bebet dan bobot bisa dipertanggungjawabkan itu ada pad Irwan. Itulah mengapa aku bimbang, belum mengiyakan akau menolak perjodohan yang digagas oleh para orang tua masing-masing.

“In Sya Allah Yah, Tiara Istikharah dulu,” jawabku sore itu.

***

Perjodohan ini membuatku dilema. Di satu sisi aku tidak mau mengecewakan orang tua. Di sisi lain aku juga sudah mulai menjalin hubungan dengan seseorang. Ade Hartono namanya. Seorang pengusaha dari luar pulau yang aku kenal lewat sosial media. Meskipun dengan mas Ade aku belum pernah jumpa darat, hanya dari foto-foto yang dia kirimkan, aku mulai merasakan ada getaran perasaan yang tidak bisa aku pungkiri.

Entah sudah berapa malam setelah Istikharah kupanjatkan doa meminta kepada Yang Kuasa untuk keluar dari rumitnya pilihan ini. Keluar dari belenggu kebimbangan yang mendera, keluar dari pilihan yang seperti makan buah simalakama.

Doa-doa terus kupanjakkan, memohon yang terbaik dengan pilihan yang terbaik untuk jodohku dan masa depanku kelak.

***

Gawai berdering pertanda ada notivikasi pesan WhatsApp masuk, kulihat dari siapa pagi-pagi memberi pesan melalui aplikasi WhatsApp.

“Selamat pagi,Tiara,” ucapan selamat pagi ternyata dari mas Ade, tidak biasanya beliau memberi pesan chat sepagi ini. Ada apa gerangan dan ada perlu apa dia menghubungiku?

“Selamat pagi Mas. Ada apa Mas?” tanyaku penasaran.

“Aku sudah ada di kotamu, bisakah kita bertemu darat?” jawabnya dari balik layar smartphone yang kugenggam. What ? Mas Ade sudah di kota ini ? aku kaget atas pernyataan mas Ade, siapa sangka pemuda yang ngakunya berdomosili di luar pulau kini ada satu kota denganku, bahagia, kaget bingung campur aduk menjadi satu.

Terbayang bagaimana paras muka mas Ade yang kalau dilihat di foto yang dia kirim seperti artis bintang Korea. Berperawakan tinggi berkulit putih, juga potongan rambut persis model Korea. Tak kuasa aku menahan diri untuk menyembunyikan perasaan ini.

“Boleh mas,” sahutku juga melalui pesan WhatsApp. Ada penasaran juga aku kepada mas Ade. Setiap menghubungiku hanya melalui pesan teks, setiap kali aku minta video call beliau selalu menolak dengan alasan yang tidak jelas dan terkesan dibuat-buat.

“Baik aku tunggu di kafe Nongkrong,” sahutnya.

“Baik mas,” tak lama berselang sebuah pesan masuk yang mengirimkan alamat kafe Nongkrong melalui share lok. Dari petunjuk tersebut ternyata kafe Nongkrong agak jauh dari tempat tinggalku. Aku tinggal di kampung yang jauh dari pusat kota. Sementara kafe Nongkrong 10 km menuju ke pusat kota.

Celana blue jeans dan kaos putih kombinasi warna merah dan kuning. Itu yang mas Ade pakai saat menemuiku di kafe pagi ini. Sudah kurekam dalam ingatan sperti yang disampaikan mas Ade di pesan WhatsAppnya.

Sepeda motor matic warna hitam kupacu agak terburu. Tidak sabar untuk bertemu dengan sang pujaan hati. Lalu lalang kendaraan bermotor tidak aku hiraukan. Yang ada dalam pikiranku, aku akan segera bertemu dengan mas Ade yang sudah menunggu.

Pagi ini begitu cerah. Rasa gugup kurasakan setelah jarak tempuhku semakin dekat. Sudah 7 km kupacu kuda bsi yang selalu setia menemaniku.

Tanpa terasa aku sudah sampai di depan halaman kafe Nongkrong. Kuparkir sepeda motor di sebelah kanan tempat parkir berbaur dengan sepda motor pengunjung lain, sementara di deretan kanan berjajar rapi mobil berbagai jenis yang menanti tuannya yang sedang nongkrong di kafe Nongkrong tersebut.

Kulangkahkan kaki menuju ke dalam kafe, kusapukan mataku kearah pengunjung yang sedang duduk menyantap pesanan makanan. Banyak juga yang sedang menunggu pesanan sambi ngobrol dengan yang lain. Interior kafe yang artistik mampu menghipnotis para pengunjung untuk tetap berlama-lama. Untuk itu, kafe Nongkrong tersebut tidak pernah sepi dari pengunjung, baik dalam kota maupun sebagai tempat pertemuan para pebisnis yang sedang privat meeting.

Agak lama juga aku mencari keberadaan mas Ade, tanpa sengaja kulihat sosok paruh baya sedang memainkan smart phonenya. Yang menarik perhatianku adalah, pria tersebut berpakaian sama persis dengan ciri yang diberikan oleh mas Ade. Celana blue jeans dan kaos warna putih kombinasi warna merah dan kuning.

“Mungkinlah itu mas Ade?” pikirku dalam hati. Tapi tidak mungkin. Sesuai foto yang sering dikirimm, mas Ade berperawakan langsing, putih dan wajah manis seperti orang Korea. Tapi yang di depanku seorang om-om yang sudah berumur sementara perawakannya gendut buncit dan berkulit agak kehitaman. Mungkin ini hanya kebetulan berciri sama dengan yang disampaikan oleh mas Ade. Bisa jadi mas Ade menunggu di tempat agak terpisah dari kerumunan para pengunjung.

Akupun duduk tak jauh dari pria berperawakan gendut tersebut, kubuka smart phone untuk menghubungi mas Ade. Belum sempat panggilan tersambung, tiba tiba pria berperawakan gendut menyapa.

“Maaf dengan adik Tiara?” sapanya. Lah kok sudah mengetahui namaku.

“Benar dengan siapa dan bisa saya bantu?” aku balik bertanya karena aku sendiri belum merasa mengenal pria di depanku ini.

“Boleh duduk di sini?”

“O… ya silakan duduk,” jawabku, “kalau boleh tahu siapa om ini ?”

“Kenalkan saya Ade, dan sebelumnya kita telah janjian di sini,”
“What ?” pekikku dalam hati. Aku masih belum percaya kalau pria gendut di hadapanku adalah mas Ade. Bayangan mas Ade yang seperti bintang Korea pupus sudah melebur bersama alunan musik yang mengalun di tiap sudut ruangan kafe.

“Jadi om adalah Ade ?” tanyaku tidak percaya .

“Betul, dan saya ke kota ini mau membicarakan hubungan kita selanjutnya.” Terangnya, berharap ingin melanjutkan hubungak ke lebih serius.

Aku masih belum yakin dengan apa yang kusaksikan. Mas Ade yang kubayangkan, tidak sesuai dengan kenyataan. Terbalik 180 derajat. Aku hanya termangu, diam tak mampu berkata-kata akan kenyataan yang kualami.

“Mungkin Tiara masih kaget dengan keadaan saya yang tidak sama seperti yang ada di foto, itu memang foto-foto saya 25 tahun yang lalu.”

***

Sejak kejadian pagi itu, kuputuskan untuk mengakhiri hubungan dengan mas Ade. Kisah cinta sosial media memang menggiurkan, tapi tidak seperti realita. Aku yakin ini adalah jawaban dari doa-doa yang kupanjatkan demi pilihan persoalan yang kuhadapi. Dua pilihan yang sama-sama bingung aku pilih akhirnya terjawab. Tidak ada kejadian di dunia ini yang sifatnya kebetulan. Aku pastikan ini adalah pilihan terbaik untuk menyudahi hubungan dengan mas Ade dan memulai hubungan dengan Irwan.

Ditulis di Sampit, 09 November 2019

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *