Tradisi dan Perayaan Maulid Nabi Menurut 4 Madzhab Fikih Ahlussunah Wal Jamaah

Maulid Nabi secara bahasa adalah Bulan kelahiran Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Maulid Nabi secara Istilah adalah tradisi atau peringatan terhadap kelahiran manusia istimewa nan mulia, yaitu Baginda Nabi Muhammad Rasulullah, yang dilahirkan, tepatnya pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun 570 M di Makkah.

Karenanya, bulan Rabiul Awal sering disebut dengan bulan Maulud (berarti dilahirkan) atau bulan Maulid (berarti waktu kelahiran).

Sejarah Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW

Dalam Tafsir Midadurrahman, diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa merayakan kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat Arab Islam sejak tahun kedua Hijriyah. Sudah ada sejah masa Rasulullah masih hidup.

Para ahli sejarah Islam, seperti Ibn Khallikan, Sibth Ibn Al-Jauzi, Ibn Katsir, Al-Hafizh Al-Sakhawi, Al-Hafizh Al-Suyuthi dan lainnya telah sepakat menyatakan bahwa orang yang mempopulerkan peringatan Maulid Nabi pertama kali dan mengadakan peringatan maulid Nabi Muhammad besar-besaran adalah Sultan Al-Muzhaffar.

Sultan Al-Muzhaffar adalah seorang Pemimpin Islam yang bijak dan dermawan di Irbil. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Imam Jalaluddin Abdurahman As-Suyuthi (wafat 991 H) dalam kitabnya, ia mengatakan:

Artinya:

“Orang yang pertama kali mengadakan seremonial itu (maulid nabi) adalah penguasa Irbil, yaitu Raja Muzhaffar Abu Said Kuukuburi bin Zainuddin Ali ibn Buktitin, salah seorang raja yang mulia, agung, dan dermawan. Dia juga memiliki rekam jejak yang bagus. Dan, dia lah yang meneruskan pembangunan Masjid al-Muzhaffari di kaki gunung Qasiyun.” (Referensi: Imam as-Suyuthi, al-Hawi lil Fatawi, [Beirut, Darul Fikr: 2004], juz I, h. 182).

Perayaan Maulid Nabi yang biasa dirayakan pada bulan Rabiul Awal menjadi tradisi umat Islam di seluruh dunia dari masa ke masa hingga saat ini.

Terkait Sejarah Maulid Nabi ini, ada referensi lain yang mengatakan bahwa Sultan Salahuddin Al-Ayyubi adalah orang yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi. Ia adalah seorang pemimpin yang tahu bagaimana menyentuh hati rakyat jelata.

Sultan Salahuddin pada kala itu membuat perayaan Maulid dengan tujuan membangkitkan semangat umat Islam yang telah padam untuk kembali berjihad dalam membela Islam pada masa Perang Salib.

Menurut Tafsir Midadurrahman, Peringatan Maulid Nabi di Indonesia sendiri mulai berkembang di masa Wali Songo atau sekitar tahun 1404 Masehi. Kemudian terus berlanjut sampai sekarang.

Tradisi Maulid Nabi

Pada bulan Maulud ini, mayoritas umat Islam, khususnya di Indonesia memperingati hari lahir Nabi Muhammad atau Maulid Nabi Muhammad Shallallāhu ‘Alaihi Wasallam dengan berbagai cara dan tradisi, misalnya:

    1. Umumnya dengan pembacaan Barzanji (riwayat hidup Nabi), dan ceramah keagamaan yang menceritakan kebaikan Sang Nabi semasa hidupnya untuk dijadikan sebagai tuntunan hidup.
    2. Di sebagian wilayah di Indonesia, masyarakat merayakan Maulid Nabi dengan berbagai perayaan yang unik, dan umumnya berakar dari kebiasaan serta adat istiadat daerah setempat. Seperti,

a. Masyarakat Banyuwangi, Suku Osing memiliki tradisi Muludan, Ancak-ancakan dan Endog-Endogan,
b. Masyarakat Madura memiliki tradisi Muludhen.
c. Masyarakat Minang memiliki tradisi Bungo Lado.
d. Masyarakat Kudus mempunyai tradisi Kirab Ampyang.
e. Masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta menggunakan tradisi Grebeg Maulud.

Tradisi-tradisi itu memiliki kesamaan, yaitu sebagai ungkapan rasa syukur atas kelahiran manusia istimewa Nabi Muhammad Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.

Maulid Nabi Menurut Fiqih Muqaranatul Madzhib Ahlussunah Wal Jamaah

Lalu, bagaimanakah hukum memperingati hari lahir Nabi Muhammad Shallallahu A’laihi Wasallam secara Ilmu Fiqih Perbandingan Madzhab (Fiqih Muqaranatul Madzahib) ?

Para ulama Fiqih Islam berbeda pendapat tentang hukum Maulid Nabi ini.

Pendapat Pertama

Mayoritas ulama dari Madzhab Fiqih Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali menegaskan bahwa peringatan maulid Nabi Muhammad Shallallāhu ‘Alaihi Wasallam, hukumnya BOLEH, bahkan SUNNAH.

Di bawah ini kutipan pendapat para ulama tersebut.

Asy-Syaikh Ahmad Ibnu Abidin berkata:

“Ketahuilah bahwa di antara bid’ah-bid’ah yang terpuji adalah melaksanakan maulid Nabi yang mulia pada bulan dilahirkannya Nabi Muhammad Shallallāhu ‘Alaihi Wa Alihi Wasallam”.
(Referensi: Ahmad Ibnu Abidin, Natsrud Durar Ala Maulidi Ibni Hajar, juz 3, h. 391).

Asy-Syaikh Ibnul Haj dari Madzhab Fiqih Maliki menyatakan:

Maka wajib bagi kita pada hari Senin tanggal dua belas Rabiul Awal menambah ibadah dan kebaikan, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah atas apa yang dianugerahkan kepada kita berupa nikmat-nikmat besar ini, terutama nikmat kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu A’laihi Wa Alihi Wa Sahbihi Wasallam.
(Referensi: Ibnul Haj Al-Maliki, Al-Madkhal, juz 1, h. 361).

Imam Jalaluddin Assuyuthi dari Madzhab Fiqih Syafi’i menyebutkan:

“Ia (peringatan maulid Nabi) merupakan bid’ah hasanah yang pelakunya memperoleh pahala, sebab hal itu sebagai bentuk mengagungkan kemulian Nabi Muhammad Shallallahu A’laihi Wa Alihi Wa Sahbihi Wasallam, dan mengungkapkan rasa bahagia akan kelahiran Nabi mulia”.
(Referensi: Jalaluddin Assuyuthi, Al-Hawi Lilfatawa, juz 1, h. 292).

Asy-Syaikh Zaini Dahlan juga menyebutkan:

Di antara cara memuliakan Nabi Shallallahu A’laihi Wa’alihi Wasahbihi Wasallam adalah berbahagia di malam kelahirannya, dan membaca maulid.
(Referensi: Zaini Dahlan, Addurarus Saniyyah, h. 190).

Senada dengan para ulama di atas, seorang ulama bermadzhab Hanbali, Asy-Syaikh Ibnul Jauzi Al-Hanbali menerangkan:

“Di antara keistimewaan peringatan maulid adalah bahwa hal itu (diharapkan) memberikan rasa aman pada tahun itu, dan kabar bahagia akan tercapainya harapan dan tujuan”.
(Referensi: Muhammad bin Abdul Baqi Al-Zarqani, Syarhul Allamah Azzarqani Bisyarhil Mawahib Al-Laduniyyah, 262; Usman bin Syatha Al-Bakri, I’anatut Thalibin, juz 3, h. 414).

Pendapat Kedua

Sebagian ulama Madzhab Maliki menyatakan, peringatan maulid Nabi Muhammad Shallallahu A’laihi Wasallam menghukuminya dengan Bid’ah Hasanah .

Syekh Tajuddin Al-Fakihani menuturkan:

“Saya tidak mengetahui dalil dari Al-Qur’an dan Hadis tentang peringatan maulid ini, dan tidak pula diceritakan riwayat tentang pelaksanaannya oleh salah satu ulama, di mana para ulama tersebut merupakan tuntunan dalam hal agama, yang senantiasa berpegang teguh pada warisan orang-orang terdahulu. Bahkan peringatan maulid adalah Bid’ah Hasanah”. (Referensi: Tajuddin Al-Fakihani, Al-Mawrid Fi Amalil Maulid, h. 20).

Kesimpulan / Istinbath Hukum yang Paling Kuat

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hukum memperingati maulid Nabi Muhammad Shallallahu A’laihi Wasallam.

Mayoritas ulama dari Madzhab Empat, meliputi Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali menyatakan bahwa hukum memperingatinya adalah BOLEH, bahkan SUNNAH.

Sedangkan, sebagian kecil Ulama Madzhab Maliki menghukuminya Bid’ah Hasanah.

Bid’ah Hasanah adalah sesuatu yang tidak dilakukan oleh Nabi maupun para sahabatnya namun perbuatan itu memiliki nilai kebaikan dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sedangkan bid’ah dhalalh adalah perbuatan baru dalam agama yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Dari kedua pendapat tersebut, tampaknya pendapat yang memperbolehkan peringatan maulid Nabi merupakan pendapat yang sangat kuat, sebab merupakan pendapat mayoritas ulama dari Empat Madzhab.

Kemudian, Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (QS. Yunus [10] : 58).

Dalam Kitab Tafsir Midadurrahman, Abdullah bin Abbas yang dikenal dengan Ibnu Abbas, beliau menafsiri kata “fadhlullah” dengan ilmu Allah, dan “rahmatihi” dengan Rasulullah. Artinya, kita diperintahkan untuk berbahagia atas adanya “rahmatihi”, yaitu Rasulullah. (Referensi: Shohibul Faroji Al-Azhmatkhan, 2020, Tafsir Midadurrahman, Penerbit Asyraf Internasional, Volume 10, h.58.)

Sedangkan, inti dari peringatan maulid Nabi adalah ungkapan bahagia atas kelahiran baginda Rasulullah.

Dengan demikian, ayat ini mengisyaratkan disyariatkannya peringatan maulid Nabi Muhammad Shallallāhu ‘Alaihi wasallam.

Ibnu Taimiyyah tentang hukum peringatan maulid Nabi. Sebagaimana diketahui, Ibnu Taimiyyah adalah rujukan utama bagi sebagian umat Islam yang selama ini mengharamkan peringatan maulid Nabi. Beliau menulis:

“Maka memuliakan maulid, dan menjadikannya sebagai kebiasaan merupakan perbuatan yang dilakukan oleh sebagian orang. Dan baginya, pahala yang besar atas hal itu, karena baiknya niat, dan penghormatannya kepada Rasulullah Shallallahu A’laihi Wa’alihi Wasahbihi Wasallam.” (Referensi: Ibnu Taymiyyah, Iqtidhaus Shiratil Mustaqim fi Mukhalafati Ashhabil Jahim, juz 1, h. 297).

Munculnya keragaman pendapat ulama terkait hukum memperingati maulid Nabi Muhammad Shallallāhu ‘Alaihi Wasallam ini semoga semakin menambah keyakinan kita bahwa perbedaan itu merupakan Sunnatullah, maka harus disikapi dengan benar, obyektif, ilmiah, dan bijak.

Wallahu A’lamu bis Shawwab.

REFERENSI :

  • Ahmad Ibnu Abidin, Natsrud Durar Ala Maulidi Ibni Hajar, juz 3, h. 391.
  • Ibnul Haj Al-Maliki, Al-Madkhal, juz 1, h. 361.
  • Ibnu Taymiyyah, Iqtidhaus Shiratil Mustaqim fi Mukhalafati Ashhabil Jahim, juz 1, h. 297.
  • Jalaluddin Assuyuthi, Al-Hawi Lilfatawa, juz 1, h. 292.
  • Shohibul Faroji Al-Azhmatkhan, 2020, Tafsir Midadurrahman, Penerbit Asyraf Internasional, Volume 10, h.58.
  • Tajuddin Al-Fakihani, Al-Mawrid Fi Amalil Maulid, h. 20.
  • Usman bin Syatha Al-Bakri, I’anatut Thalibin, juz 3, h. 414.
  • Zaini Dahlan, Addurarus Saniyyah, h. 190.

Oleh:
Al-Imam An-Naqib Al-Mufassir Al-Habib Prof. Dr. KH. R. Shohibul Faroji Al-Azhmatkhan. SAg., M.A., Ph.D.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *