Ketika Terbelenggu Dalam Mimpi

Kulihat jam dinding sudah menunjukan pukul 07.00, segala persiapan untuk perjalanan jauh di luar provinsi sudah selesai. Sementara Ratna sang istri sedang membuat sarapan untuk bekal perjalanku. Sementara anakku yang baru berumur dua tahun masih malas-malasan di tempat tidur.

Ya, hari ini adalah hari dimana aku akan berangkat ke luar kota di tetangga provinsi. Ini adalah kali pertama aku diberi kepercayaaan oleh atasan untuk menghandle perusahaan yang baru buka cabang di kota tersebut. Walaupun agak berat untuk meninggalkan anak dan istri, tapi karena tuntutan pekerjaan yang harus dijalani terpaksa kuterima tawaran pimpinan untuk kepengurusan perusahaan yang baru dibuka. Karena kebetulan jabatan yang saya pegang lumayan berpengaruh.

Akhirnya berangkat juga aku menuju kota tujuan, sebuah kota kecil yang sedang berkembang. Itulah sebabnya perusahaan berani membuka cabangnya di kota tersebut, karena memang investasi di kota itu sangat menjanjikan. Satu bulan adalah rencana aku ditugaskan di kota itu.

***

Segala tugas-tugas secara serius aku kerjakan tanpa mengenal waktu. Siang maupun malam pekerjaan aku lembur untuk mengejar target, yang terbayang bisa segera pulang, bercengkerama dengan putri tercinta. Karena umur dua tahun adalah dimana tingkah polah anak-anak sedang lucu-lucunya. Itulah yang selalu terbayang dalam benakku.

Dan akhirnya segala pengorbanan selama di tempat tugas membuahkan hasil. Belum lagi genap satu bulan aku sudah bisa diperbolehkan pulang. Rasa bahagia, senang dan gembiara bercampur aduk menjadi satu. Hari itu juga aku pacu mobil hitam buatan Jepang dengan kecepatan super. Sudah lima jam perjalan dalam memacu kendaraan. Dan tinggal tiga jam lagi akan sampai. Entah sudah berapa kali aku istirahat untuk sekedar menyeruput kopi di warung pinggir jalan. Dengan begitu rasa kantuk dan lelah lenyap menguap tanpa bekas.

Kini sisa perjalanan tinggal tiga jam lagi, kupacu mobil andalan dengan kecepatan sedang. Apa lagi dalam beberapa menit lagi akan melintasi kawasan hutan pinus yang terjal dan berbukit bukit. Walaupun hari masih terang tapi jika kurang hati-hati akan sangat beresiko. Dan yang paling parah adalah nyawa sebagai taruhan.

Kawasan hutan pinus mulai aku susuri, kelok jalan mulai terasa, kanan dan kiri hanya tanaman pohon pinus yang tertata rapi tanpa ada rumah perkampungan dan jalanpun sepi. Tiba-tiba tidak seperti biasanya ada kabut tipis di depan menghalangi jalan. Pedal rem kuinjak untuk memperpelan laju kendaraan, dengan perlahan aku terobos kabut tipis yang menghalangi jalan.

Entah bagaimana, tiba-tiba mobil yang aku kemudikan seolah berjalan melaju melayang di udara walapun masih aku sadari bahwa mobil masih menapak di jalan aspal yang membelah hutan pinus. Rasa penasaran tiba-tiba merasuk dalam jiwa. Baru sekitar lima belas menit berlalu selepas menembus kabut tipis, perbatasan kota yang kutempati sudah mulai kelihatan. Mengapa begitu ? padahal jika menurut hitungan normal perjalanan harus ditempuh dalam waktu tiga jam untuk sampai ke perbatasan kota tempat aku tinggal.

Kususuri jalanan yang tidak jauh lagi sampai kerumah. Kanan kiri berbagai bangunan sudah tampak lain, belum genap satu bulan aku tinggalkan tapi di kanan kiri jalan sudah banyak gedung-gedung bertingkat menghiasi pemandangan. Satu bulan yang lalu waktu aku tinggalkan bangunan-bangunan tersebut masih berbentuk bangunan kayu layaknya bangunan seperti rumah yang kutinggali.

Tak terasa sampailah aku di rumah sendiri, tertegun aku melihatnya, waktu kutinggalkan bangunan rumah masih berupa bangunan kayu tapi sekarang rumah sudah lantai dua dengan bentuk bangunan model Eropa.

Ragu-ragu aku untuk langsung masuk ke rumah, ada rasa bimbang tapi aku beranikan diri untuk mengucap salam sebagi tanda permisi menyapa tuan rumah.

“Assalamu’alaikum“ ucapan salam akhirnya keluar dari mulutku yang agak gemetar.

“Wa’alaikum salam” terdengar suara seorang perempuan dari dalam rumah.

“Silakan masuk” lanjutnya.

Kulangkahkan kaki untuk masuk ke dalam rumah, dan setelah dipersilahkan duduk akupun duduk di pojok sofa warna jingga dengan hiasan meja yang sangat artistik.

Kupandangi perempuan yang duduk di depanku. Mukanya begitu mirip dengan Ratna tapi aku yakin perempuan tersebut bukan Ratna. Ratna tidak mempunyai tahi lalat di pipi kananya tapi perempuan di depanku mempunyai tahi lalat di pipi kanan. Apakah ini saudara istriku, tapi rasannya tidak mungkin aku sudah kenal lama dengan keluarga Ratna dan Ratna tidaklah mempunyai saudara kembar. Lalu siapa yang membangun rumah semegah ini dalam waktu kurang dari satu bulan. Pertanyaan-pertanyaan itu masih berkecamuk dalam hati sampai lamunan terpecah ketika telingaku mendengar tuan rumah menanyakan maksud dan tujuan aku datang kemari.

“Bapak mencari siapa?” tanyanya.

“Saya mencari ibu Ratna” akhirnya kusampaikan juga bahwa aku mencari Ratna yang tidak lain adalah istriku.

“Maksud bapak nenek Ratna? Beliau buyut saya. Memang ada hubungan apa dengan nenek Ratna?” lanjut menanyakan.

Deg… kaget. Ratna adalah buyut perempuan muda di depanku ? jadi siapa sebenarnya yang ada di depanku ?

“Beliau adalah nenek Ratna,” imbuhnya memecah keheningan sambil menunjukan foto hitam putih di sudut dinding sebelah kanan.

Kutatap foto tersebut foto hitam putih yang pernah aku gantung sebelum aku berangkat tugas di luar kota dan rasa tidak percaya bahwa itu adalah Ratna.

Kukuatkan tubuhku yang mulai tak terkendali dan aku paksakan untuk menanyakan siapa sebenarnya perempuan di depanku.

“Jadi adik siapa” kupanggil adik karena menurut usia beliau lebih muda beberapa tahun dari umurku.

“Saya Amalia cucu buyut dari nenek Ratna” jawabnya.

“Cucu buyut? “ gumamku hampir suaranya tak terdengar.

Kutatap tajam Amalia seakan menembus isi hati, apa benar apa yang diucapkan. Kurang puas dengan menatap Amalia aku sapu kembali pandanganku ke dinding rumah apa yang bisa kulihat kuperhatikan secara detail. Dan tanpa disadari kumenatap kalender, sebenarnya tahun berapa hari ini. Karena terhalang pandangan untuk melihat tahunnya aku berdiri dan begitu terlihat tahun di kalender tidak terasa lutut pun lemas. Badan tak kuat lagi untuk tetap kokoh. Tak disadari ambruk menerima kenyataan, tahun 2120 Masehi itulah tahun yang kuingat sebelum aku tak sadarkan diri.

Entah berapa lama aku tak sadar tapi kala aku terbangun Ratna sudah ada di samping dengan muka pucat beliau menggoyang goyangkan badanku yang katanya aku mengigau dalam tidur dan sulit untuk dibangunkan.

Bagus Sugiarto
Sampit, 28 November 2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *