“Ting tong… perhatian-perhatian saatnya jam pelajaran dimulai.” Bel masuk sekolah sudah terdengar. Suaranya merdu menginformasikan tanda jam pelajaran segera dimulai. Bel listrik yang baru beberapa hari terpasang sebagai pengganti lonceng pipa, terpasang di beberapa titik Sekolah Menengah Atas Mustika Harapan. Sebuah sekolah SMA favorit yang kerap kali mencetak generasi penerus di beberapa instansi pemerintah maupun swasta.
Terlihat siswa dan siswi berseragam putih abu-abu bergegas masuk ke kelasnya masing-masing untuk menyambut pelajaran yang akan diberikan oleh guru kelas dengan berbagai mata pelajaran sesuai dengan jadwal yang sudah dibagikan. Terlihat rona wajah penuh semangat disetiap siswa dan siswi.
Jika di kelas lain bel masuk sekolah disambut dengan suka cita, tapi berbeda dengan siswa-siswi kelas X MIPA 1. Bel tanda masuk jam pelajaran bagi kelas X MIPA 1 bagaikan suara sangkakala kematian yang terdengar sangat menakutkan dan menyeramkan. Rasa mencekam terlihat dari raut muka siswa-siswi yang ada di kelas tersebut. Rasa kekhawatiran, ketakutan, dan kegelisahan yang terpancar dari wajah-wajah mereka.
“Tak….tak…tak…” Terdengar suara sepatu mendekati pintu masuk kelas, dan tak lama kemudian muncul dari balik pintu yaitu sesosok lelaki berkumis tebal berkacamata dengan model klasik yang berjalan mendekati kelas dan setelah sampai di dalam ruangan, lelaki itu langsung berdiri di depan. Dialah Pak Dadang seorang guru Matematika yang sudah terkenal killer. Pak Dadang masih berdiri di depan kelas, tatapan matanya menyapu semua siswa yang duduk tertunduk dengan nyanyian hati masing-masing. Inilah yang mereka rasakan, jam pelajaran Pak Dadang yang sangat ditakuti.
“Toto, maju ke depan,” panggil Pak Dadang memecah keheningan pada saat itu. Toto yang merasa dipanggil terhentak kaget bukan kepalang. Detak jantungnya berpacu semakin kencang bagaikan putaran speedo meter yang melintasi Sirkuit Sentul.
“Baik pak.” Sahut Toto yang masih menerka-nerka apa gerangan yang akan ia terima dari Pak Dadang. Sambil bangkit dari duduk, Toto menoleh ke kanan dan ke kiri mencari pembelaan dari teman-temannya. Sementara teman yang beradu pandang dengan Toto hanya mengerdipkan matanya sebagai pertanda bahwa turuti apa perintah Pak Dadang yang memanggilnya.
“Bagikan buku ulangan ini sesuai dengan nama yang tertera dan duduk kembali.” Pak Dadang memberi perintah ke Toto.
“Baik pak,” sahut Toto sambil menerima tumpukan buku yang diberikan Pak Dadang.
Toto segera membagikan buku di tangan sesuai dengan nama masing-masing yang tertera di sampul buku tersebut. Satu-persatu buku itu jatuh ke tangan pemiliknya. Setelah selesai membagikan buku tugas tersebut Totopun segera kembali ketempat duduk sesuai dengan instruksi dari Pak Dadang. Dengan perlahan para siswa mulai membuka buku yang baru dibagikan dan melihat nilai yang terpampang jelas menghiasi hasil ulangan yang dua hari lalu diadakan. Ulangan harian sebagai evaluasi berkala di mata pelajaran Matematika yang diempu oleh Pak Dadang.
Masih terngiang jelas dalam ingatan siswa dan siswi kelas X MIPA 1 dengan apa yang dikatakan Pak Dadang.
“Masa depan bangsa ini ada di pundak kalian. Kerjakan soal ulangan ini dengan baik.” Singkat padat dan jelas apa yang dikatakan pak Dadang.
Tapi apa yang terjadi setelah dua hari berlalu. Nilai ulangan Matematika yang mereka terima jauh dari hasil yang memuaskan bahkan bisa dibilang sangat dibawah standar penilaian dalam dunia pendidikan. Apa kata pak Dadang yang di sekolah SMA Mustika Harapan di juluki dengan guru killer.
“Siapa yang mendapat nilai 10 ?” tanya Pak Dadang yang sudah duduk di kursi guru di pojok kanan depan ruang kelas yang berwarna hijau. Seisi kelas diam membisu tidak ada yang acungkan jari.
“Siapa yang dapat nilai 9?” kembali para siswa tidak ada yang mengacungkan jarinya .
“Siapa yang mendapat nilai 5?” suara Pak Dadang agak meninggi. Dengan serentak para siswa mengacungkan jarinya dengan rasa malu dan terlihat wajah mereka menunduk semua. Dari jumlah siswa sebanyak 30 siswa hanya satu yang tidak mengacungkan jari.
“Zainal, berapa nilai ulanganmu ?” tanya Pak Dadang kepada Zainal yang tidak mengcungkan jarinya.
“Empat pak,” jawab Zainal.
“Hanya sampai segitu kemampuan kalian?” Pak Dadang mulai angkat bicara sambil bangkit dari duduknya.
“Jaaawaaaab….” Bentak Pak Dadang yang sudah meninggi suaranya. Sementara para siswa tertunduk ketakutan. Romi, Arul, Siska tiga pentolam kelas X MIPA 1 yang biasanya paling usil dan paling ribut dibuatnya diam seribu bahasa. Tak ada sepatah katapun yang terucap dari tiga anak itu, apa lagi siswa-siswi yang lain tak terdengan walau hanya dengus nafas yang tertahan.
“Untuk apa kalian ada di sini ?” kata Pak Dadang melanjutkan.
“Belajar pak.” Jawab anak-anak yang hampir bersamaan.
“Nah sekarang kalian tahu kan apa tugas kalian.. belajar belajar dan hanya belajar,” lanjutnya
“Mengapa hanya ulangan harian yang sudah sering bapak sampaikan nlai kalian jeblok semua?” Pak Dadang dengan nada mulai merendah. Terlihat “kebengisan” dari seorang Pak Dadang sudah mulai luntur.
“Bapak yakin, kalau kalian lebih giat belajarnya, pasti nilai kalian tidak sampai dibawah standar seperti itu. Bapak mau nanya, apasih yang membuat nilai kalian itu dibawah rata-rata ?” Ucap pak Dadang.
Semua siswa hanya diam karena mereka tidak berani mengungkapkan pendapatnya, akhirnya Pak Dadang menunjuk salah satu diantara mereka untuk mengungkapkan pendapat mereka masing-masing
“Silakan Toni berdiri dan jawab pertanyan bapak tadi”
“Aanuu, itu.. pak,” agak gugup Toni sampai tidak mampu untuk mengeluarkan apa yang menjadi problema yang ada dihatinya jika diajar oleh pak Dadang.
“Anu apa Toni ?”
“Sebelum saya mengataknya, saya meminta maaf jika perkatan saya nanti akan membuat bapak tersinggung. Jadi begini pak, kita merasa tertekan jika mulai memasuki jam pelajaran Bapak. Bapak terlalu monoton dalam mengajar dan membosankan.” Akhirnya walau agak terbata Toni mampu menyampaikan problem yang selama ini menjadi kendala jika di ajar oleh pak Dadang. Dengan julukan guru killer Pak Dadang sebagai guru Matematika menyadari dan memahami akan masalah yang terjadi selama ini.
“Baik. Siapa yang sependapat dengan Toni?” tanya Pak Dadang menegaskan akan perkataan Toni yang secara terbuka menyampaikan masalah yang dihadapi selama ini.
“Saya pak !” Kompak seluruh siaswa mengcungkan jari mereka.
Terlihat secara samar wajah Pak Dadang agak memerah entah malu atau marah merasa cara mengajarkan yang tidak disenangi anak didiknya. Tapi hal itu tidak bertahan lama karena sejurus k emudian Pak Dadang sudah menguasai keadaan. Karena sebagai guru senior tentulah cepat bisa membaca keadaan.
“Baik lah anak-anak..” suara lemah pak Dadang terdengar.
“Bapak minta maaf jika selama ini cara mengajar bapak membuat kalian tidak nyaman.” Permintaan maaf yang keluar dari mulut Pak Dadang mulai mencairkan suasana kelas. Para siswa yang mulai tadi merasa tegang mulai bisa menarik nafas lega. Bukan hanya permintaan maaf dari Pak Guru Killer saja yang membuat suasana melemah. Tapi nada dan gaya bicara Pak Dadang juga berubah sedemikian lembut tidak seperti biasanya yang kerap membentak.
“Sekali lagi bapak minta maaf. Bapak lakukan ini bertujuan semata-mata hanya untuk kalian, anak-anak Bapak. Bapak hanya ingin disamping kalian pandai juga ingin kalian setelah lulus nanti menjadi manusia manusia hebat bermartabat. Tidak menjadi babu di negeri sendiri, bapak tidak ingin melihat mental kalian menjadi mental kuli. Bapak ingin melihat kalian nantinya menjadi pribadi yang tangguh. Menjadi manusia-manusia bermental bos di negeri sendiri, yang mempunyai daya saing di era globalisasi yang semakin menggerus jaman.” Terang Pak Dadang panjang lebar.
Anak-anak kembali tertunduk terharu mendengar apa yang disampaikan oleh sang guru killer yang ada di depan mereka. Bukan kebencian jika guru marah, dan bukan pula kebengisan yang terpancar dari seorang guru jika megajarkan apa yang sudah menjadi tanggung jawabnya. Melainkan sebuah teknik atau metode pengajaran yang terkadang tidak sesuai dengan apa yang terjadi di pda kenyataan yang ada. Dan dengan cara komunikasi yang baik antar guru maka, tidak ada lagi rasa canggung antara guru dan murid dalam bertanya jika ada mteri yang belum dipahami.
“Baik anak-anak. Untuk kedepan kita susun dan kita benahi kembali bagaimana cara belajar dan mengajar yang membuat kita semua lebih nyaman.” Ungkap Pak Dadang mengakhiri jam mata pelajaran Matematika yang tidak terasa jam mata plajaran sudah sampai di ujung waktu.
************
Bel tanda masuk sekolah terdengar di beberapa titik sekolah. Menandakan jam pelajaran segera dimulai. Tampak hari itu suasana kelas X MIPA 1 terlihat sumriangah (berseri-seri). Seperti kejadian sebulan yang lalu suara langkah kaki mendekat ke kelas, dan muncul sesosok laki-laki berkumis tebal dan berkaca mata yang tak lain adalah Pak Dadang. Jika pada satu bulan yang lalu suasana mencekam, tapi hari ini tampak berbeda. Dengan senyum tersungging di bibir, Pak Dadang terus melanghkah kakiknya menuju ke meja guru.
“Selamat pagi pak.” Salam dari siswa siswi kelas X MIPA 1 terdengar menyambut kehadiran PaK Dadang.
“Selamat pagi anak-anak !” sahut Pak Dadang
“Ada kabar gembira hari ini akan bapak sampaikan. Untuk nilai ulangan yang diadakan minggu kemarin nilainya sudah sangat memuaskan.”
“Ye….” teriak anak-anak berbarengan.
“Romi, silakan bagikan buku teman-teman kamu semua.” Pak Dadang memberikan tumpukan buku ulangan kepada Romi untuk dibagikan.
Tampak wajah berseri terlihat setelah menerina buku ulangan yang baru saja mereka terima. Sepuluh, Sembilan dan paling rendah delapan nilai yang mereka terima. Puas anak anak menerima hasil ulangan yang pada satu bulan lalu jeblok. Sementara itu Pak Dadang juga tersenyum bangga melihat anak didiknya mulai ada peningkatan.
“Anak –anak… hari ini bapak lihat kalian semua sudah membuktikan bahwa kalian mampu, mampu dalam melewati saat kalian mengalami titik terendah di sekolah. Harapan bapak kedepannya adalah jadilah kalian menjadi manusia mandiri yang mempunyai jatidiri serta sanggup mengemban tugas yang kalian sandang di masa yang akan datang” lanjut Pak Dadang
“Baik pak..” jawab anak-anak kelas X MIPA 1. Mereka saling berpadangan dan salin tertawa merengkuh kebahagiaan dalam menempuh pendidikan di SMA Harapan Mustika yang tentunya akan menjadi kenangan tersendiri bagi siswa dan siswi kelas X MIPA 1.
Sumber gambar: https://phinueisal.wordpress.com/